A.
ATRIBUSI
Atribusi
adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang untuk menerangkan mengapa orang
lain melakukan suatu perbuatan. Dapat pula dijelaskan sebagai prinsip orang
membuat penilaian terhadap sebab-sebab peristiwa, perilaku orang lain, dan
perilaku mereka sendiri. Penyebab yang dimaksud biasanya adalah disposisi pada
orang yang bersangkutan. Dengan demikian teori-teori atribusi adalah usaha
untuk menerangkan bagaimana suatu sebab menimbulkan perilaku tertentu. Atribusi
penting untuk dipelajari dalam psikologi social karena hal ini dapat
menerangkan pada kita bagaimana orang menjelaskan suatu perilaku. Dengan
memperlajari atribusi, kita juga dapat melihat bias-bias yang terjadi ketika
seseorang menjelaskan perilaku orang lain, kemudian, pada gilirannya,
memperngaruhi perilaku mereka sendiri.
Sejauh ini di dalam psikologi social
dikenal ada tiga teori dalam kaitannya dengan atribusi yaitu :
a. Theory of Correspondent
Inferences
Dikembangkan oleh Edward James dan
Keith Davis. Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik
personal berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap
atau karakteristik orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang
dapat disimpulkan (correspondent inference). Ini berbeda dengan keadaan, dimana
banyak orang melakukan hal yang sama. Misalnya, seorang yang menyampaikan rasa
simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan sebagai orang yang
simpatik, sebab sebagian orang memang melakukan hal yang serupa. Bagaimana
mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan karakteristik atau sikap ? Ada
beberapa cara untuk melihat ada atau tidak hubungan antara keduanya :
1. Dengan
melihat kewajaran perbuatan atau perilaku. Orang yang bertindak wajar sesuai
dengan keinginan masyarakat (social desirability), sulit untuk dikatakan bahwa
tindakannya itu cerminan dari karakternya. Sebaliknya, akan lebih mudah untuk
menebak bahwa perilakunya merupakan cerminan dari karakter dia bila dia
melakukan sesuatu yang kurang wajar. Contohnya : orang yang berjalan sesuai
dengan jalur sulit untuk ditebak bahwa perilaku itu mencerminkan karakternya.
Namun bila dijumpai ada seseorang yang berjalan menerabas, dapat
disimpulkan bahwa perbuatan itu adalah cerminan dari karakternya, yaitu tidak
patuh pada aturan.
2. Pengamatan
terhadap perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan beberapa pilihan.
Pada situasi yang tidak memberikan alternatif lain, atau karena terpaksa, tidak
mungkin bisa memprediksikan bahwa perilaku tersebut merupakan cerminan dari
karakternya.
3. Memberikan
peran yang berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan. Misalnya: seorang
juru tulis diminta untuk menjadi juru bayar. Dengan peran yang baru ini, akan
tampak keasliannya, perilaku yang merupakan gambaran dari karakternya.
b. Model of Scientific Reasoner
Teori
ini dikembangkan oleh Harold Kelly. Ia mengajukan konsep untuk memahami
penyebab perilaku seseorang dengan memandang pengamat seperti ilmuwan, yang
disebut sebagai ilmuwan naïf. Untuk sampai pada suatu kesimpulan atribusi
seseorang, diperlukan tiga informasi penting :
1.
Distinctiveness
Konsep
ini merujuk pada bagaimana seseorang berperilaku dalam kondisi yang
berbeda-beda. Distinctiveness yang tinggi terjadi apabila orang yang
bersangkutan mereaksi secara khusus atau berbeda pada suatu peristiwa. Misalnya
: ia hanya tertawa ketika nonton film komedi X, namun ketika nonton film komedi
lainnya ia tidak pernah tertawa. Sedangkan distinctiveness yang rendah terjadi
apabila orang yang bersangkutan merespon/mereaksi secara sama terhadap stimulus
yang berbeda. Misalnya : seseorang yang selalu tertawa bila melihat film
komedi.
2.
Konsistensi
Konsep
ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu peristiwa.
Konsistensinya dikatakan tinggi apabila orang yang bersangkutan mereaksi yang sama
untuk stimulus yang sama, pada waktu yang berbeda. Misalnya : orang yang selalu
tertawa bila melihat lelucon dari pelawak Tessy, baik dulu maupun sekarang,
disebut memiliki konsistensi yang tinggi. Sedangkan bila orang tersebut hanya
kadang-kadang saja tertawa terhadap lelucon Tessy, ia memiliki konsistensi yang
rendah. Konsistensi dikatakan rendah jika orang yang bersangkutan merespon
berbeda atau tidak sama terhadap stimulus yang sama pada waktu yang berbeda.
3.
Konsensus
Konsep
tentang konsensus selalu melibatkan orang lain, sehubungan dengan stimulus yang
sama. Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang berarti
konsensusnya rendah, dan sebaliknya jika orang lain juga melakukan hal sama
dengan dirinya berarti konsensusnya tinggi.
Dari ketiga informasi tersebut,
dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelly ada tiga, yaitu :
1. Atribusi
internal, yaitu perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya apabila
distinctiveness-nya rendah, konsensusnya rendah dan konsistensinya tinggi.
2. Atribusi
eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi,
konsensusnya tinggi dan konsistensinya juga tinggi.
3. Atribusi
internal-eksternal, hal ini ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi,
konsensusnya rendah dan konsistensinya juga tinggi.
c. Atribusi Keberhasilan dan
Kegagalan
Dua teori atribusi di atas bisa
diterapkan secara lebih umum daripada teori yang akan dibicarakan pada bagian
ini. Weiner dan Weiner mengkhususkan diri berteori tentang atribusi dalam
kaitannya dengan keberhasilan dan kegagalan.
Untuk menerangkan proses atribusi
tentang keberhasilan atau kegagalan seseorang maka perlu memahami pusat ilmu psikologi dimensinya.
Terdapat dua dimensi pokok memberi atribusi. Pertama, keberhasilan dan
kegagalan memiliki penyebab internal dan eksternal (mirip konsep dari Kelley
atau locus of control). Dimensi kedua, memandang dari segi stabilitas penyebab,
stabil atau tidak stabil. Dari kedua dimensi tersebut, dapat dilihat ada empat
kemungkinan :
Kestabilan
LOC
|
Tidak
Stabil
(Temporer)
|
Stabil
(Permanen)
|
Internal
|
-
Usaha
-
Mood
-
Kelelahan
|
-
Bakat
-
Kecerdasan
-
Karakteristik Fisik
|
Eksternal
|
-
Nasib
-
Ketidaksengajaan
-
Kesempatan
|
-
Tingkat kesukaran
tugas
|
Berdasarkan pada tabel di atas, maka
dapat dilakukan kategorisasi atau atribusi seseorang. Misalnya mahasiswa yang
berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena selama kuliah memang selalu
mendapat nilai baik dan dia memiliki kesanggupan untuk berusaha, maka dia bisa
disebut sebagai orang yang cerdas, berbakat atau berkemampuan tinggi. Orang
yang demikian bisa diberi atribusi internal-stabil. Bisa juga bukan karena
kemampuannya yang memadai, tetapi karena tugas yang dibebankan relatif mudah,
berarti atribusinya eksternal-stabil. Contoh atribusi internal-tidak stabil
adalah pada kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya tergantung
pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang berhasil tetapi tidak jarang pula
gagal. Atribusi eksternal-tidak stabil, contohnya adalah orang yang mendapat
undian berhadaih.
Konsep atribusi ini tidak hanya
terbatas untuk melihat keberhasilan, tetapi dengan analogi yang sama bisa juga
untuk memberi atribusi kegagalan. Contohnya adalah orang pandai, yang biasanya
sukses, suatu ketika mengalami kegagalan karena tugas yang dibebankan terlalu
berat untuk ditanggung sendirian (eksternal-stabil).
Pada tahun 1982, Weiner memperluas
model atribusinya dengan menambahkan satu dimensi lagi didalam dimensi penyebab
internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau tidaknya penyebab itu terkontrol (controllable).
Contohnya : untuk atribusi internal-stabil tak terkontrol adalah sukses karena
bakat yang luar biasa sehingga jarang mengalami kegagalan.
Temuan-temuan lintas budaya tentang Atribusi
Penelitian
lintas budaya tentang atribusi sangat penting, terutama untuk meningkatkan
pemahaman kita mengenai interaksi intercultural. Ada banyak perilaku yang
diatribusikan secara keliru mengenai beberapa perilaku orang akibat perilaku
tersebut dipandang negataif. Dalam psikologi lintas budaya diketahui bahwa
terdapat beberapa perilaku yang berakar pada dinamika kebudayaan yang memang
mendorong dan melanggengkannya. Kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor
cultural dalam membuat atribusi atas perilaku orang lain maupun kita sendiri.
Dengan begitu, kita telah mengambil satu langkah penting dalam memperbaiki
pemahaman dan hubungan intercultural.
Dalam
beberapa penelitian, ditemukan bahwa dalam memandang keberhasilan dan kegagalan,
siswa-siswa di Hong Kong memandang keberhasilan pada sebab-sebab Internal
seperti usaha, ketertarikan dan kemampuan sedangkan Siswa-siswa Amerika
memandang keberhasilan pada sebab-sebab internal. Demikian pula halnya dengan
wanita india dalam penelitian Moghaddam, Ditto, dan Taylor (1990), yang
menunjukkan bahwa perempuan india yang bermigarasi ke Kanada lebih cenderung
mengatribusikan kenerhasilan dan kegagalan pada sebab-sebab internal. Chritteden
(1991) menunjukkan bahwa wanita Taiwan lebih banyak menggunakan atribusi
eksternal dan self-effacing tentang diri mereka ketimbang wanita amerika.
Sebelumnya, Bond, Leung, dan Wan (1982) menunjukkan bahwa siswa-siswa cina yang
self-effacing lebih disukai oleh teman-teman sebaya mereka dari pada siswa yang
kurang dalam gaya atribusi ini. Kashima
dan Triandis (1986) manunjukkan bahwa orang jepang menggunakan gaya atribusi
yang jauh lebih berorientasi-kelompok dan kolektif, dalam kaitannya dengan
tugas-tugas perhatian dan daya ingat. Subjek-subjek jepang ini lebih sering
mengatribusikan kegagalan pada dirinya sendiri, dan keberhasilan lebih pada hal
di luar diri.
Orang dari kebudayaan yang
berbeda memang punya gaya atribusional yang berbeda, dan perbedaan-perbadaan
ini berakar jauh dalam latar belakang cultural dan pengasuhan. Ada cukup banyak
penelitian yang mempertanyakan daya penerapan lintas budaya dari berbagai
konsep popular tentang atribusi yang terbukti benar di Amerika. Bias
menguntungkan diri, atribusi-atribusi defensive, dan kesalahan atribusi mendasar
tidak muncul dalam cara yang sama, atau dengan makna yang sama, di budaya lain.
B.
Ketertarikan
Interpersonal dan Cinta
Ketertarikan
Interpersonal adalah derajat perasaan positif atau negative terhadap orang lain
tetapi lebih mengacu pada perasaan-perasaan
positif terhadap orang lain dan merupakan salah satu dimensi penting psikologi
social. Ahli-ahli psikologi menggunakan istilah ini untuk
mencakup berbagai pengalaman, termasuk rasa menyukai, pertemanan, kekaguman,
ketertarikan seksual, dan cinta (Dayakisni & Yuniardi, 2008; Matsumoto,
2008).
Terdapat
tiga faktor kunci ketertarikan, yaitu Daya tarik fisik, Kedekatan, dan
Kesamaan. Pertama Daya Tarik Fisik adalah kelebihan fisik (ukuran, bentuk,
karakter wajah, dan sebagainya) yang dapat memancing penilaian favorit orang
lain. Yang kedua, Kedekatan adalah faktor kunci ketertarikan yang melibatkan
kedekatan geografis, tempat tinggal, dan bentuk-bentuk lain dari kedekatan
fisik. Yang ketiga adalah Kesamaan yang dalam hal ini adalah kesamaan minat,
nilai-nilai dan kepercayaan. Ketiga faktor tersebut dapat menjadi penentu
terjadinya suatu ketertarikan social.
Matsumoto
(2008) juga menulis bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedekatan
berpengaruh terhadap ketertarikan. Selain kedekatan tempat tinggal, daya tarik
fisik juga cukup berpengaruh dalam hubungan interpersonal meski tampaknya daya
tarik ini lebih penting untuk perempuan daripada untuk laki-laki. Hipotesis
kesetaraan (matching hypotesis) memprediksi bahwa orang dengan
ciri-ciri fisik yang kira-kira setara kemungkinan besar akan memilih untuk
menjadi pasangan. Hipotesis kemiripan (similarity hypotesis)
menyatakan bahwa orang yang hampir sama dalam usia, ras, agama, kelas sosial,
pendidikan, kecerdasan, sikap, dan daya tarik fisik cenderung membentuk
hubungan yang intim. Hipotesis keberbalasan (recipocity hypotesis)
menyatakan bahwa orang yang akan cenderung balas menyukai orang lain yang
menyukai mereka.
Cinta (Menyukai Vs Mencintai)
Zick
Rubin (1970,1992) menemukan bahwa menyukai termasuk penilaian favorit terhadap
orang lain, sebagai cerminan perasaan yang besar atas kekaguman dan kehormatan.
Mencintai dalam temuannya tidak hanya sebatas menyukai, tetapi disusun atas :
-
Caring yaitu hasrat untuk menolong orang
lain, terutama ketika pertolongan dibutuhkan
-
Attachment yaitu kebutuhan untuk
bersama-sama dengan orang lain; dan
-
Intimacy yaitu suatu rasa empati dan
kepercayaan yang datang dari komunikasi yang dekat dan kedekatan secara pribadi
dengan orang lain.
Cinta
romantis adalah perasaan intens dari ketertarikan kepada orang lain, dalam
sebuah konteks erotis dan dengan harapan masa depan.
Triangular theory of love yang diajukan oleh
Sternberg (2001) menyatakan bahwa cinta mempunyai tiga komponen dasar: (1)intimacy (keintiman), rasa kedekatan dan
pertautan, Matsumoto (2008) menambahkan bahwa keintiman mengacu pada
kehangatan, kedakatan, dan berbagai dalam sebuah hubungan; (2) passion(keinginan), rasa
ingin bersatu dengan orang lain; dan (3)commitment (tanggung jawab), keputusan untuk
memelihara hubungan dalam jangka waktu yang sangat lama, dan mengacu pada niat
untuk mempertahankan hubungan meski dihadapkan pada berbagai kesulitan
(Matsumoto, 2008).
Temuan-temuan
Lintas budaya tentang Ketertarikan Interpersonal dan Cinta
Banyak
informasi yang didapat dari penelitian-penelitian lintas budaya yang menyatakan
bahwa konsep ketertarikan, cinta, dan keintiman berbeda pada tiap-tiap budaya.
Perbandingan budaya-budaya dalam memandang cinta dapat menjadi pertimbangan. Di
Amerika pada umumnya orang-orang merasakan bahwa cinta adalah sesuatu yang
dibutuhkan dan kadang-kadang merupakan unsur yang cukup bagi terbentuknya
hubungan romantis jangka panjang dan perkawinan. Orang-orang Amerika cenderung
akan menikah dengan orang-orang yang dicintainya (Dayakisni & Yuniardi,
2008).
Dalam budaya-budaya lain
cinta mungkin tidak menjadi pertimbangan untuk hubungan jangka panjang dan
perkawinan. Bahkan sesungguhnya, perkawinan yang disiapkan adalah hal yang umum
terjadi di budaya-budaya lain, misalnya Jepang, Cina, dan India. Kadang-kadang
perkawinan disiapkan oleh orang tua jauh sebelum usia dimana pasangan itu
dipertimbangkan menikah. Cinta tidak menjadi pertimbangan bagi mereka, sebab
adanya keyakinan bahwa cinta seharusnya tumbuh dalam hubungan perkawinan
(Dayakisni & Yuniardi, 2008).
Pengaplikasian cinta tidak hanya sekedar dipengaruhi oleh fenomena
biologis atau fenomena insting, konsep keluarga dan lain-lain, tetapi juga
dipengaruhi oleh adat dan budaya yang berlaku.
Dalam budaya Barat, aplikasi cinta misalnya adalah sesuai kehendak
pribadi, dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, termasuk keluarga
sekalipun. Ini berbeda dengan beberapa budaya di Timur, yang sebagian masih ada
campur tangan keluarga dalam pencarian jodoh misalnya. Keluarga sangat
menentukan tentang siapa yang akan menjadi pasangan hidup anaknya kelak.
Apakah, konsep budaya timur ini tidak akan menciptakan sebuah perkawaninan yang
penuh cinta? Mungkin, jika ini ditanyakan kepada orang yang menentang
perjodohan, akan menjawab, cinta abadi dalam keluarga perjodohan tidak akan
tercipta.
Tetapi fakta berkata lain. Kelanggengan sebuah rumah tangga yang
berdasar pada perjodohan, relatif bertahan lebih lama, jika dibandingkan dengan
keluarga yang terbentuk bukan karena campur tangan keluarga. Hal ini dapat
dilihat dari rendahnya angka perceraian dimasa lalu khususnya di Indonesia,
jika dibandingkan dengan beberapa tahun belakangan ini, dimana jarang sekali
keluarga terbentuk dengan perjodohan.
Menurut pandangan neo-analis dan humanistic, daripada memilih
pasangan hanya berdasarkan perasaan tertarik sesaat secara seksual sekedar
untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dewasa, mungkin akan lebih baik menggunakan
sebuah jasa perjodohan yang lebih tahu dan berpengalaman untuk memilih calon
pasangan yang saling mencintai dan menghargai, penuh kedewasaan, dan cinta akan
tumbuh karenanya. Jika ini terjadi, mungkin hasilnya akan menghasilkan
perkawinan yang lebih baik dan cinta yang sehat dan utuh.
Perjodohan dalam budaya Barat adalah sebuah pelanggaran dalam hak
asasi, dan terlalu mencampuri urusan pribadi (individual). Budaya di Timur yang
menganut paham kolektif, ini adalah hal yang baik, karena konsep keluarganya
berpaham kolektif. Jika terjadi permasalahan dalam sebuah keluarga, maka yang
berusaha menjaga kelestarian perkawinan adalah seluruh keluarga besar. Karena,
satu keluarga mengalami aib, maka itu adalah aib bagi seluruh keluarga dalam
lingkungan yang kolektif (keluaga besar).
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto,
David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Huffman, Karen, Mark Vernoy &
Judith Vernoy. 2000. Psychology in Action.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
http://kajianpsikologi.wordpress.com/2011/02/11/firo-a-three-dimensional-theory-of-interpersonal-relations/