Kamis, 29 Maret 2012

Psikologi Lintas Budaya dan Perilaku Sosial

A.     ATRIBUSI
Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang untuk menerangkan mengapa orang lain melakukan suatu perbuatan. Dapat pula dijelaskan sebagai prinsip orang membuat penilaian terhadap sebab-sebab peristiwa, perilaku orang lain, dan perilaku mereka sendiri. Penyebab yang dimaksud biasanya adalah disposisi pada orang yang bersangkutan. Dengan demikian teori-teori atribusi adalah usaha untuk menerangkan bagaimana suatu sebab menimbulkan perilaku tertentu. Atribusi penting untuk dipelajari dalam psikologi social karena hal ini dapat menerangkan pada kita bagaimana orang menjelaskan suatu perilaku. Dengan memperlajari atribusi, kita juga dapat melihat bias-bias yang terjadi ketika seseorang menjelaskan perilaku orang lain, kemudian, pada gilirannya, memperngaruhi perilaku mereka sendiri.

Sejauh ini di dalam psikologi social dikenal ada tiga teori dalam kaitannya dengan atribusi yaitu :
a. Theory of Correspondent Inferences
Dikembangkan oleh Edward James dan Keith Davis. Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan (correspondent inference). Ini berbeda dengan keadaan, dimana banyak orang melakukan hal yang sama. Misalnya, seorang yang menyampaikan rasa simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan sebagai orang yang simpatik, sebab sebagian orang memang melakukan hal yang serupa. Bagaimana mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan karakteristik atau sikap ? Ada beberapa cara untuk melihat ada atau tidak hubungan antara keduanya :
1.      Dengan melihat kewajaran perbuatan atau perilaku. Orang yang bertindak wajar sesuai dengan keinginan masyarakat (social desirability), sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya itu cerminan dari karakternya. Sebaliknya, akan lebih mudah untuk menebak bahwa perilakunya merupakan cerminan dari karakter dia bila dia melakukan sesuatu yang kurang wajar. Contohnya : orang yang berjalan sesuai dengan jalur sulit untuk ditebak bahwa perilaku itu mencerminkan karakternya. Namun bila dijumpai ada seseorang yang berjalan menerabas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan itu adalah cerminan dari karakternya, yaitu tidak patuh pada aturan.
2.      Pengamatan terhadap perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan beberapa pilihan. Pada situasi yang tidak memberikan alternatif lain, atau karena terpaksa, tidak mungkin bisa memprediksikan bahwa perilaku tersebut merupakan cerminan dari karakternya.
3.      Memberikan peran yang berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan. Misalnya: seorang juru tulis diminta untuk menjadi juru bayar. Dengan peran yang baru ini, akan tampak keasliannya, perilaku yang merupakan gambaran dari karakternya.



b. Model of Scientific Reasoner
Teori ini dikembangkan oleh Harold Kelly. Ia mengajukan konsep untuk memahami penyebab perilaku seseorang dengan memandang pengamat seperti ilmuwan, yang disebut sebagai ilmuwan naïf. Untuk sampai pada suatu kesimpulan atribusi seseorang, diperlukan tiga informasi penting :
1.       Distinctiveness
Konsep ini merujuk pada bagaimana seseorang berperilaku dalam kondisi yang berbeda-beda. Distinctiveness yang tinggi terjadi apabila orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus atau berbeda pada suatu peristiwa. Misalnya : ia hanya tertawa ketika nonton film komedi X, namun ketika nonton film komedi lainnya ia tidak pernah tertawa. Sedangkan distinctiveness yang rendah terjadi apabila orang yang bersangkutan merespon/mereaksi secara sama terhadap stimulus yang berbeda. Misalnya : seseorang yang selalu tertawa bila melihat film komedi.
2.      Konsistensi
Konsep ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensinya dikatakan tinggi apabila orang yang bersangkutan mereaksi yang sama untuk stimulus yang sama, pada waktu yang berbeda. Misalnya : orang yang selalu tertawa bila melihat lelucon dari pelawak Tessy, baik dulu maupun sekarang, disebut memiliki konsistensi yang tinggi. Sedangkan bila orang tersebut hanya kadang-kadang saja tertawa terhadap lelucon Tessy, ia memiliki konsistensi yang rendah. Konsistensi dikatakan rendah jika orang yang bersangkutan merespon berbeda atau tidak sama terhadap stimulus yang sama pada waktu yang berbeda.
3.      Konsensus
Konsep tentang konsensus selalu melibatkan orang lain, sehubungan dengan stimulus yang sama. Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang berarti konsensusnya rendah, dan sebaliknya jika orang lain juga melakukan hal sama dengan dirinya berarti konsensusnya tinggi.

Dari ketiga informasi tersebut, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelly ada tiga, yaitu :
1.    Atribusi internal, yaitu perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya apabila distinctiveness-nya rendah, konsensusnya rendah dan konsistensinya tinggi.
2.    Atribusi eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi, konsensusnya tinggi dan konsistensinya juga tinggi.
3.    Atribusi internal-eksternal, hal ini ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi, konsensusnya rendah dan konsistensinya juga tinggi.
c. Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan
Dua teori atribusi di atas bisa diterapkan secara lebih umum daripada teori yang akan dibicarakan pada bagian ini. Weiner dan Weiner mengkhususkan diri berteori tentang atribusi dalam kaitannya dengan keberhasilan dan kegagalan.
Untuk menerangkan proses atribusi tentang keberhasilan atau kegagalan seseorang maka perlu memahami pusat ilmu psikologi dimensinya. Terdapat dua dimensi pokok memberi atribusi. Pertama, keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab internal dan eksternal (mirip konsep dari Kelley atau locus of control). Dimensi kedua, memandang dari segi stabilitas penyebab, stabil atau tidak stabil. Dari kedua dimensi tersebut, dapat dilihat ada empat kemungkinan :
Kestabilan
LOC
Tidak Stabil
(Temporer)
Stabil
(Permanen)
Internal
-          Usaha
-          Mood
-          Kelelahan
-          Bakat
-          Kecerdasan
-          Karakteristik Fisik
Eksternal
-          Nasib
-          Ketidaksengajaan
-          Kesempatan
-          Tingkat kesukaran
tugas
Berdasarkan pada tabel di atas, maka dapat dilakukan kategorisasi atau atribusi seseorang. Misalnya mahasiswa yang berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena selama kuliah memang selalu mendapat nilai baik dan dia memiliki kesanggupan untuk berusaha, maka dia bisa disebut sebagai orang yang cerdas, berbakat atau berkemampuan tinggi. Orang yang demikian bisa diberi atribusi internal-stabil. Bisa juga bukan karena kemampuannya yang memadai, tetapi karena tugas yang dibebankan relatif mudah, berarti atribusinya eksternal-stabil. Contoh atribusi internal-tidak stabil adalah pada kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya tergantung pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang berhasil tetapi tidak jarang pula gagal. Atribusi eksternal-tidak stabil, contohnya adalah orang yang mendapat undian berhadaih.
Konsep atribusi ini tidak hanya terbatas untuk melihat keberhasilan, tetapi dengan analogi yang sama bisa juga untuk memberi atribusi kegagalan. Contohnya adalah orang pandai, yang biasanya sukses, suatu ketika mengalami kegagalan karena tugas yang dibebankan terlalu berat untuk ditanggung sendirian (eksternal-stabil).
Pada tahun 1982, Weiner memperluas model atribusinya dengan menambahkan satu dimensi lagi didalam dimensi penyebab internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau tidaknya penyebab itu terkontrol (controllable). Contohnya : untuk atribusi internal-stabil tak terkontrol adalah sukses karena bakat yang luar biasa sehingga jarang mengalami kegagalan.



Temuan-temuan lintas budaya tentang Atribusi

Penelitian lintas budaya tentang atribusi sangat penting, terutama untuk meningkatkan pemahaman kita mengenai interaksi intercultural. Ada banyak perilaku yang diatribusikan secara keliru mengenai beberapa perilaku orang akibat perilaku tersebut dipandang negataif. Dalam psikologi lintas budaya diketahui bahwa terdapat beberapa perilaku yang berakar pada dinamika kebudayaan yang memang mendorong dan melanggengkannya. Kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor cultural dalam membuat atribusi atas perilaku orang lain maupun kita sendiri. Dengan begitu, kita telah mengambil satu langkah penting dalam memperbaiki pemahaman dan hubungan intercultural.
Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa dalam memandang keberhasilan dan kegagalan, siswa-siswa di Hong Kong memandang keberhasilan pada sebab-sebab Internal seperti usaha, ketertarikan dan kemampuan sedangkan Siswa-siswa Amerika memandang keberhasilan pada sebab-sebab internal. Demikian pula halnya dengan wanita india dalam penelitian Moghaddam, Ditto, dan Taylor (1990), yang menunjukkan bahwa perempuan india yang bermigarasi ke Kanada lebih cenderung mengatribusikan kenerhasilan dan kegagalan pada sebab-sebab internal. Chritteden (1991) menunjukkan bahwa wanita Taiwan lebih banyak menggunakan atribusi eksternal dan self-effacing tentang diri mereka ketimbang wanita amerika. Sebelumnya, Bond, Leung, dan Wan (1982) menunjukkan bahwa siswa-siswa cina yang self-effacing lebih disukai oleh teman-teman sebaya mereka dari pada siswa yang kurang dalam gaya atribusi ini. Kashima dan Triandis (1986) manunjukkan bahwa orang jepang menggunakan gaya atribusi yang jauh lebih berorientasi-kelompok dan kolektif, dalam kaitannya dengan tugas-tugas perhatian dan daya ingat. Subjek-subjek jepang ini lebih sering mengatribusikan kegagalan pada dirinya sendiri, dan keberhasilan lebih pada hal di luar diri.
Orang dari kebudayaan yang berbeda memang punya gaya atribusional yang berbeda, dan perbedaan-perbadaan ini berakar jauh dalam latar belakang cultural dan pengasuhan. Ada cukup banyak penelitian yang mempertanyakan daya penerapan lintas budaya dari berbagai konsep popular tentang atribusi yang terbukti benar di Amerika. Bias menguntungkan diri, atribusi-atribusi defensive, dan kesalahan atribusi mendasar tidak muncul dalam cara yang sama, atau dengan makna yang sama, di budaya lain.
B.     Ketertarikan Interpersonal dan Cinta

Ketertarikan Interpersonal adalah derajat perasaan positif atau negative terhadap orang lain tetapi lebih  mengacu pada perasaan-perasaan positif terhadap orang lain dan merupakan salah satu dimensi penting psikologi social. Ahli-ahli psikologi menggunakan istilah ini untuk mencakup berbagai pengalaman, termasuk rasa menyukai, pertemanan, kekaguman, ketertarikan seksual, dan cinta (Dayakisni & Yuniardi, 2008; Matsumoto, 2008).
Terdapat tiga faktor kunci ketertarikan, yaitu Daya tarik fisik, Kedekatan, dan Kesamaan. Pertama Daya Tarik Fisik adalah kelebihan fisik (ukuran, bentuk, karakter wajah, dan sebagainya) yang dapat memancing penilaian favorit orang lain. Yang kedua, Kedekatan adalah faktor kunci ketertarikan yang melibatkan kedekatan geografis, tempat tinggal, dan bentuk-bentuk lain dari kedekatan fisik. Yang ketiga adalah Kesamaan yang dalam hal ini adalah kesamaan minat, nilai-nilai dan kepercayaan. Ketiga faktor tersebut dapat menjadi penentu terjadinya suatu ketertarikan social.
Matsumoto (2008) juga menulis bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedekatan berpengaruh terhadap ketertarikan. Selain kedekatan tempat tinggal, daya tarik fisik juga cukup berpengaruh dalam hubungan interpersonal meski tampaknya daya tarik ini lebih penting untuk perempuan daripada untuk laki-laki. Hipotesis kesetaraan (matching hypotesis) memprediksi  bahwa orang dengan ciri-ciri fisik yang kira-kira setara kemungkinan besar akan memilih untuk menjadi pasangan. Hipotesis kemiripan (similarity hypotesis) menyatakan bahwa orang yang hampir sama dalam usia, ras, agama, kelas sosial, pendidikan, kecerdasan, sikap, dan daya tarik fisik cenderung membentuk hubungan yang intim. Hipotesis keberbalasan (recipocity hypotesis) menyatakan bahwa orang yang akan cenderung balas menyukai orang lain yang menyukai mereka.

Cinta (Menyukai Vs Mencintai)

Zick Rubin (1970,1992) menemukan bahwa menyukai termasuk penilaian favorit terhadap orang lain, sebagai cerminan perasaan yang besar atas kekaguman dan kehormatan. Mencintai dalam temuannya tidak hanya sebatas menyukai, tetapi disusun atas :
-          Caring yaitu hasrat untuk menolong orang lain, terutama ketika pertolongan dibutuhkan
-          Attachment yaitu kebutuhan untuk bersama-sama dengan orang lain; dan
-          Intimacy yaitu suatu rasa empati dan kepercayaan yang datang dari komunikasi yang dekat dan kedekatan secara pribadi dengan orang lain.

Cinta romantis adalah perasaan intens dari ketertarikan kepada orang lain, dalam sebuah konteks erotis dan dengan harapan masa depan.

Triangular theory of love yang diajukan oleh Sternberg (2001) menyatakan bahwa cinta mempunyai tiga komponen dasar: (1)intimacy (keintiman), rasa kedekatan dan pertautan, Matsumoto (2008) menambahkan bahwa keintiman mengacu pada kehangatan, kedakatan, dan berbagai dalam sebuah hubungan; (2) passion(keinginan), rasa ingin bersatu dengan orang lain; dan (3)commitment (tanggung jawab), keputusan untuk memelihara hubungan dalam jangka waktu yang sangat lama, dan mengacu pada niat untuk mempertahankan hubungan meski dihadapkan pada berbagai kesulitan (Matsumoto, 2008).


Temuan-temuan Lintas budaya tentang Ketertarikan Interpersonal dan Cinta
Banyak informasi yang didapat dari penelitian-penelitian lintas budaya yang menyatakan bahwa konsep ketertarikan, cinta, dan keintiman berbeda pada tiap-tiap budaya. Perbandingan budaya-budaya dalam memandang cinta dapat menjadi pertimbangan. Di Amerika pada umumnya orang-orang merasakan bahwa cinta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan kadang-kadang merupakan unsur yang cukup bagi terbentuknya hubungan romantis jangka panjang dan perkawinan. Orang-orang Amerika cenderung akan menikah dengan orang-orang yang dicintainya (Dayakisni & Yuniardi, 2008).
Dalam budaya-budaya lain cinta mungkin tidak menjadi pertimbangan untuk hubungan jangka panjang dan perkawinan. Bahkan sesungguhnya, perkawinan yang disiapkan adalah hal yang umum terjadi di budaya-budaya lain, misalnya Jepang, Cina, dan India. Kadang-kadang perkawinan disiapkan oleh orang tua jauh sebelum usia dimana pasangan itu dipertimbangkan menikah. Cinta tidak menjadi pertimbangan bagi mereka, sebab adanya keyakinan bahwa cinta seharusnya tumbuh dalam hubungan perkawinan (Dayakisni & Yuniardi, 2008).

Pengaplikasian cinta tidak hanya sekedar dipengaruhi oleh fenomena biologis atau fenomena insting, konsep keluarga dan lain-lain, tetapi juga dipengaruhi oleh adat dan budaya yang berlaku.
Dalam budaya Barat, aplikasi cinta misalnya adalah sesuai kehendak pribadi, dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, termasuk keluarga sekalipun. Ini berbeda dengan beberapa budaya di Timur, yang sebagian masih ada campur tangan keluarga dalam pencarian jodoh misalnya. Keluarga sangat menentukan tentang siapa yang akan menjadi pasangan hidup anaknya kelak. Apakah, konsep budaya timur ini tidak akan menciptakan sebuah perkawaninan yang penuh cinta? Mungkin, jika ini ditanyakan kepada orang yang menentang perjodohan, akan menjawab, cinta abadi dalam keluarga perjodohan tidak akan tercipta.
Tetapi fakta berkata lain. Kelanggengan sebuah rumah tangga yang berdasar pada perjodohan, relatif bertahan lebih lama, jika dibandingkan dengan keluarga yang terbentuk bukan karena campur tangan keluarga. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya angka perceraian dimasa lalu khususnya di Indonesia, jika dibandingkan dengan beberapa tahun belakangan ini, dimana jarang sekali keluarga terbentuk dengan perjodohan.
Menurut pandangan neo-analis dan humanistic, daripada memilih pasangan hanya berdasarkan perasaan tertarik sesaat secara seksual sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dewasa, mungkin akan lebih baik menggunakan sebuah jasa perjodohan yang lebih tahu dan berpengalaman untuk memilih calon pasangan yang saling mencintai dan menghargai, penuh kedewasaan, dan cinta akan tumbuh karenanya. Jika ini terjadi, mungkin hasilnya akan menghasilkan perkawinan yang lebih baik dan cinta yang sehat dan utuh.
Perjodohan dalam budaya Barat adalah sebuah pelanggaran dalam hak asasi, dan terlalu mencampuri urusan pribadi (individual). Budaya di Timur yang menganut paham kolektif, ini adalah hal yang baik, karena konsep keluarganya berpaham kolektif. Jika terjadi permasalahan dalam sebuah keluarga, maka yang berusaha menjaga kelestarian perkawinan adalah seluruh keluarga besar. Karena, satu keluarga mengalami aib, maka itu adalah aib bagi seluruh keluarga dalam lingkungan yang kolektif (keluaga besar).
































DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Huffman, Karen, Mark Vernoy & Judith Vernoy. 2000. Psychology in Action.
New York: John Wiley & Sons, Inc.


http://kajianpsikologi.wordpress.com/2011/02/11/firo-a-three-dimensional-theory-of-interpersonal-relations/



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost